[Updated in 21 December 2020]
Beberapa tahun berselang, aku begitu pengecut untuk menyapamu kembali. Hari-hari ku begitu penuh kecurangan, aku begitu curang padamu. Berjalan bersama orang baru, tidak lagi melihatmu, mengabarimu, peduli padamu atau bahkan sekedar mengingatmu untuk satu hari saja. Setiap malam lebih kulalui bersama kenangan baru, memupuk harapan dan lembaran baru. Namun, begitu sial yang kudapati. Wanita yang kukira bisa menggantikanmu ternyata malah memberikan luka, lubang didalam jiwa semakin di acak-acak oleh wanita yang kukira akan selalu memberiku bahagia dan menyembuhkan semuanya. Tapi tidak, ternyata aku salah. Untuk menyembuhkan semua luka yang disebabkan olehmu itu adalah urusanku sendiri dan harus kuselesaikan sebelum mencari lagi. Begitu bodohnya aku, mempercayakan rasa dan hatiku pada orang baru, selagi luka yang dulu belum juga sembuh.
Hari ini, aku mengingat-ingat kembali. Sore terakhir denganmu kala itu, aku benar-benar mengacaukan semuanya. Aku mengharapkanmu untuk kembali, tapi malah membuatmu sakit hati. Air matamu yang kala itu benar-benar kujaga malah tanpa sadar kubuatnya mengalir. Untuk menenangkan diriku sendiri, kala itu aku berdalih bahwa rasa sakit yang kau berikan, membuatku benar-benar kehilangan akal dan kelapasan akan setiap halnya. Aku menenangkan diriku sendiri tanpa peduli apa yang kamu rasa. Aku benar-benar naif, benar-benar bodoh.
Sampai saat ini harapanku tak pernah berubah, meski aku begitu bodoh sebab membuat air matamu mengalir kala itu. Meski kini telah beberapa tahun kulewati tanpamu, ditambah bertemu dengan orang-orang baru yang kukira bisa menggantikanmu. Ternyata tidak. Tidak seorangpun yang berhasil menggantimu. Luka pun bertambah, lubang didalam jiwa semakin bersorak dengan ria, lubang didalam hati pun juga tak pernah berhenti untuk bersuara. Meski begitu, ku akui ada kalanya mereka berteriak dan bersuara dengan nada yang indah, tapi semua itu begitu menyayat diri.
Aku berjalan kesana dan kemari, dengan semua sudut diri yang kian diracuni dan dilukai. Harmoni yang pernah kau susun dan ajari, kini semakin pudar. Nada yang kamu beri kini tidak mempan lagi untuk ku arungi. Semakin malam, bukan lagi bintang yang menghiasi. Tapi, racun dan luka yang semakin membumbung tinggi. Malam itu, aku benar-benar tidak kuat lagi, dalam lamunan dan heningnya malam, aku menaruh doa dengan tinggi “Tuhan, aku kian tidak tahu diri. Aku mencintai ciptaanmu dengan sangat, meski ketika dia akan kembali malah kucekal. Kumohon tuhan, jika dia memanglah rumah, maka aku berharap ada satu kali saja pertemuan dengannya, aku tidak akan tunduk pada harga diriku. Aku akan menyapanya, meminta maaf padanya akan setiap halnya, memperbaiki semuanya dan menjadikannya pusat dari semesta yang paling bahagia. Kumohon tuhan, jika dia benar-benar rumah. Berikanlah satu lagi pertemuan dengannya untuk merubah dan mengembalikan semua harmoni dan nada yang ada bersamanya.”
‘Tanpa sadar, akupun tertidur setelahnya’.
Keesokannya sinar pagi menyapa sekaligus membangunkanku, aku berharap ada awal yang baru yang akan diberi tuhan padaku hari ini. Namun, jika tidak hari ini, maka aku akan menanti hari itu untuk awal yang baru.
0 Komentar